Artikel Kesehatan

  Teknik Baru, MIPO untuk Operasi Ortopedi

Hingga tahun 60-an, hampir semua kasus fraktur dan dislokasi ditangani melalui teknik ortopedi non-operatif. Teknik ini dapat dilakukan dengan memberikan gips sirkuler atau dengan traksi skeletal pada ekstremitas tubuh yang cedera. Teknik non-operatif ini membutuhkan periode immobilisasi dan perawatan yang lama (2-3 bulan) sampai tercapai fase penyatuan fragmen tulang (clinical union). Namun, immobilisasi yang lama pada persendian ekstremitas yang cedera ternyata menimbulkan efek-efek yang sangat merugikan. Kekakuan sendi, atrofi otot, nonunion/malunion, artritis pasca trauma, dan sebagainya merupakan komplikasi-komplikasi umum yang diderita pasien pasca perawatan dengan teknik ortopedi konvensional tersebut. Terbayang ketidakpuasan pasien yang tidak dapat menggunakan anggota tubuhnya secara maksimal, meski telah menjalani pengobatan dan perawatan yang cukup lama di rumah sakit. Demikian pula dengan immobilisasi dan perawatan yang lama di tempat tidur yang terbukti menimbulkan beberapa komplikasi sistemik seperti infeksi nosokomial, distres pernapasan, dan ulkus dekubitus.
Pengenalan teknik operatif pada 1957 oleh Muller dkk. yang tergabung dalam kelompok ortopedi Swiss AO (Arbeitsgemeinschaft fur Osteosynthefragen) membuka era baru dalam perkembangan ilmu ortopedi di dunia. Kelompok ini secara terus-menerus melakukan studi reduksi terbuka dan fiksasi interna (Open Reduction and Internal Fixation, ORIF). Studi ini dimaksudkan untuk menghindari hasil-hasil yang buruk atas kasus fraktur dan dislokasi yang ditangani secara konvensional. Teknik operasi ini ternyata secara gemilang dapat menghindari sekuele pasca reduksi fraktur konvensional seperti yang telah disebut di atas (joint stiffness, muscle atrophy, dll), yang dikenal juga sebagai fracture disease. Melalui operasi, fragmen fraktur diekspose dan direduksi sesuai dengan kedudukan anatomisnya, kemudian dilakukan fiksasi interna secara ketat (rigid) dengan menggunakan peralatan seperti compression plate atau compression wire.
Berbeda dengan teori penyembuhan tulang yang diajarkan kepada mahasiswa kedokteran umum di Indonesia selama ini, penyembuhan tulang dengan teknik AO dapat menyembuhkan tulang secara langsung (primary bone healing) tanpa pembentukan jaringan kalus. Jaringan ini tidak terbentuk karena tidak ada stimulus berupa ‘geseran di antara fragmen fraktur’ untuk pembentukan kalus di dalam tulang. Penyembuhan tulang secara primer dapat tercapai akibat fiksasi anatomis fragmen tulang yang ketat (rigid). Dengan fiksasi tulang secara interna dan kuat, memungkinkan mobilisasi yang cepat pada sendi-sendi ekstremitas yang cedera sehingga sekuele fracture disease dapat terhindarkan. Sampai akhir abad ke-20, teknik rigid internal fixation dari grup AO menjadi semacam pedoman baku bagi penatalaksanaan operatif kasus-kasus fraktur di dunia.
Namun demikian, teknik operasi rigid internal fixation dari grup AO ternyata juga mempunyai kelemahan. Untuk mengekspose fraktur, kita terpaksa mengorbankan jaringan lunak, termasuk pembuluh darah di sekitar lokasi fraktur melalui sayatan insisi yang cukup panjang. Alat-alat fiksasi tulang seperti compression plate dari grup AO memang harus diaplikasikan secara langsung (direct) pada fragmen fraktur. Tindakan manipulasi langsung terhadap fragmen fraktur ini membawa risiko kerusakan dari vaskularisasi dan jaringan lunak yang menghidupi tulang yang fraktur tersebut.
Untuk mengatasi problem tersebut, Christian Krettek dkk. memperkenalkan satu teknik operasi ortopedi baru, yaitu Minimally Invasive Platting Osteosynthesis (MIPO). Dalam MIPO, reduksi fraktur dan aplikasi peralatan fiksasi tulang dilakukan secara reduksi tidak langsung (bukan langsung pada lokasi fraktur) sehingga tindakan stripping dan insisi dapat dilakukan sekecil mungkin. Teknik MIPO dapat meminimalisasi kerusakan pembuluh darah/jaringan lunak dan devitalisasi fragmen fraktur. Berbeda dengan teknik dari grup AO yang menggunakan fiksasi anatomi (direct reduction and rigid fixation), teknik MIPO menggunakan fiksasi biologis (indirect reduction, ligamentotaxis, and bridge platting). Penyembuhan tulang yang diharapkan terjadi yakni penyembuhan melalui fase pembentukan jaringan kalus.
Sejalan dengan perkembangan ilmu ortopedi dunia, di Indonesia juga mulai dikembangkan teknik MIPO di samping teknik fiksasi interna dari grup AO yang telah lama dikenal. Berdasarkan keterangan dari Dr. Djoko Simbardjo, Sp.BO dari Sub-Bagian Ortopedi RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo/FKUI Jakarta, mulai Januari 2000 teknik MIPO telah digunakan dalam operasi ortopedi terhadap pasien dengan fraktur dan dislokasi, di samping teknik dari grup AO. Awalnya, pengembangan teknik MIPO di RSUPNCM dimaksudkan untuk menolong pasien miskin atau golongan ekonomi lemah yang tidak mampu membeli peralatan fiksasi dari grup AO. Namun, kemudian Sub-Bagian Ortopedi RSUPNCM mengembangkan dan memodifikasi teknik-teknik MIPO beserta peralatannya, sehingga biaya yang dibutuhkan oleh pasien fraktur yang datang ke RSUPNCM menjadi jauh lebih murah. Dr. Djoko Simbardjo juga menyatakan bahwa pengembangan teknik MIPO yang sekarang dipakai di RSUPNCM (dikenal sebagai Minimally Invasive Procedure For Platting Ostheosyntesis, MIPPO) memberikan hasil yang cukup memuaskan karena penyembuhan yang lebih cepat, perdarahan yang lebih sedikit, dan tentu saja biaya yang jauh lebih murah.(M. Arman/Hidayati W.B.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar